Pompeii dari Timur: Menyibak Tabir Kerajaan Tambora yang Terhapus Peta
Pada suatu pagi yang tenang di tahun 2004, seorang arkeolog bernama Haraldur Sigurdsson tidak sedang mencari harta karun emas, melainkan mencari hantu. Di kaki Gunung Tambora, Sumbawa, ia menggali lapisan abu vulkanik yang telah membatu selama hampir dua abad. Di kedalaman tiga meter, sekopnya membentur sesuatu yang keras: sebuah tiang kayu yang menghitam namun masih utuh. Itu bukan sekadar kayu; itu adalah sisa dari sebuah rumah, dan di dalamnya, ia menemukan kerangka seorang wanita yang tangannya masih memegang pisau besi di dapur.
Wanita itu membeku dalam waktu, terbungkus oleh aliran piroklastik yang suhunya mencapai ratusan derajat Celsius. Penemuan ini mengejutkan dunia arkeologi. Selama hampir dua ratus tahun, Kerajaan Tambora dianggap sebagai mitos, sebuah nama yang hanya disebut dalam teks-teks kolonial lama namun fisiknya lenyap ditelan bumi. Penemuan "Pompeii dari Timur" ini membuktikan bahwa sebuah kebudayaan yang maju, dengan bahasa unik dan struktur sosial yang mapan, benar-benar terhapus dari muka bumi dalam hitungan jam.
Letusan Gunung Tambora pada April 1815 tetap menjadi ledakan vulkanik terbesar dalam sejarah manusia modern. Skalanya begitu kolosal hingga suara dentumannya terdengar sampai ke Batavia dan sejauh 2.600 kilometer ke Ternate. Namun, di balik angka-angka statistik yang mengerikan, ada tragedi kemanusiaan yang terpendam di bawah jutaan ton abu. Kerajaan Tambora, bersama tetangganya Pekat dan Sanggar, hancur total bukan oleh aliran lava yang lambat, melainkan oleh badai api dan abu yang menyapu segala kehidupan.
Hingga saat ini, relevansi penemuan Tambora melampaui sekadar rasa ingin tahu sejarah. Ia adalah pengingat betapa rapuhnya peradaban manusia saat berhadapan dengan anomali geologi. Di era di mana kita merasa mampu mengendalikan alam, situs Tambora menunjukkan bahwa satu peristiwa tunggal bisa menghapus seluruh identitas sebuah bangsa—bahasa mereka, seni mereka, dan memori kolektif mereka—tanpa meninggalkan jejak di atas permukaan tanah.
Analisis mendalam terhadap artefak yang ditemukan menunjukkan bahwa masyarakat Tambora bukanlah kelompok primitif. Sigurdsson dan timnya menemukan keramik China yang halus, peralatan dari perunggu, dan desain arsitektur rumah yang menunjukkan adanya hubungan dagang yang luas dengan dunia luar. Mereka adalah masyarakat maritim yang makmur, yang nasibnya berakhir secara ironis oleh gunung yang selama ribuan tahun telah memberikan mereka tanah subur untuk bercocok tanam.
Transisi dari kemakmuran menuju kehancuran total terjadi begitu cepat sehingga tak ada waktu untuk melarikan diri. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa banyak korban ditemukan dalam posisi sedang melakukan aktivitas domestik. Ini menggambarkan sebuah teror yang datang tanpa peringatan yang memadai; langit berubah menjadi malam di siang bolong, udara dipenuhi gas belerang yang mencekik, dan diikuti oleh hujan batu panas yang meruntuhkan atap-atap rumah mereka.
Sudut pandang unik yang sering dilewatkan oleh banyak peneliti adalah hilangnya "Bahasa Tambora." Linguis yang meneliti sisa-sisa kata yang sempat dicatat oleh penjelajah Barat sebelum letusan menemukan bahwa bahasa ini tidak mirip dengan bahasa Austronesia di sekitarnya. Ini adalah bahasa yang terisolasi, sebuah teka-teki linguistik yang unik. Ketika gunung itu meletus, ia tidak hanya membunuh manusia, tetapi juga melakukan genosida kultural yang sempurna, memutus garis keturunan bahasa tersebut selamanya.
Hubungan antara bencana di Sumbawa ini dan dampak globalnya adalah salah satu bab paling aneh dalam sains iklim. Letusan ini memicu "Tahun Tanpa Musim Panas" di Eropa dan Amerika Utara pada 1816. Gagal panen massal terjadi, kerusuhan pangan merebak di Prancis, dan di tengah cuaca dingin yang suram itu, Mary Shelley terinspirasi menulis novel Frankenstein. Penderitaan seorang petani di Sumbawa ternyata memiliki resonansi hingga ke meja tulis para sastrawan di Jenewa.
Secara teknis, proses pengawetan situs Tambora terjadi karena abu vulkanik bertindak sebagai isolator oksigen. Karena tidak ada udara yang masuk, kayu rumah dan kain tidak membusuk. Ini memberikan kesempatan langka bagi kita untuk melihat "potret instan" kehidupan abad ke-19 di Nusantara yang tidak tercemar oleh interpretasi kolonial. Setiap sendok perunggu dan mangkuk yang ditemukan adalah saksi bisu yang bicara lebih jujur daripada catatan sejarah mana pun.
Empati kita teruji saat membayangkan ribuan orang yang selamat dari letusan awal hanya untuk menghadapi kelaparan hebat dan wabah penyakit yang menyusul. Abu vulkanik merusak pasokan air dan membunuh ternak di seluruh pulau. Peradaban yang tertimbun di bawah tanah mungkin lebih beruntung karena mereka mati seketika, dibandingkan mereka yang harus bertahan hidup di padang abu yang steril selama berbulan-bulan tanpa harapan.
Pencarian di situs Tambora masih jauh dari selesai. Diperkirakan masih ada ribuan bangunan lain yang terkubur di bawah perkebunan kopi yang sekarang menyelimuti lereng gunung tersebut. Setiap musim hujan, erosi tanah sering kali menyembulkan fragmen keramik atau tulang manusia ke permukaan, seolah-olah bumi sedang berusaha mengeluarkan memori pahit yang telah lama ia simpan di dalam perutnya.
Para ilmuwan kini menggunakan teknologi radar penembus tanah (Ground Penetrating Radar) untuk memetakan tata kota kerajaan yang hilang ini tanpa harus merusak struktur aslinya. Teknologi ini memungkinkan kita melihat bayangan jalan-jalan kuno dan alun-alun kerajaan yang kini sunyi senyap di bawah tekanan tanah. Ini adalah perpaduan antara teknologi masa depan dan sisa-sisa masa lalu yang tragis.
Secara sosial, misteri Tambora memberikan pelajaran tentang mitigasi bencana di wilayah cincin api. Indonesia, dengan ratusan gunung api aktifnya, berdiri di atas "bom waktu" yang serupa. Tambora mengajarkan bahwa kita tidak boleh meremehkan ketenangan sebuah gunung; ketenangan itu bisa jadi hanyalah proses akumulasi energi yang luar biasa sebelum dilepaskan kembali ke permukaan.
Bagi penduduk lokal, Tambora tetaplah gunung yang sakral sekaligus menakutkan. Meskipun kini menjadi tujuan pendakian yang populer dengan kaldera raksasanya yang memukau, suasana di kaki gunung selalu menyisakan aura melankolis. Ada kesadaran kolektif bahwa di bawah kaki para pendaki, terdapat sebuah peradaban yang pernah bernapas, mencinta, dan berdagang, sebelum akhirnya waktu dipaksa berhenti oleh amarah vulkanik.
Kesimpulan dari misteri kota yang tertimbun ini bukan terletak pada berapa banyak emas yang ditemukan, melainkan pada refleksi tentang keberadaan kita. Tambora adalah cermin yang menunjukkan bahwa sejarah bisa terhapus dalam satu tarikan napas geologi. Saat kita menatap kawah raksasanya hari ini, kita tidak hanya melihat lubang di permukaan bumi, melainkan luka sejarah yang mengingatkan bahwa peradaban yang paling megah sekalipun hanyalah debu di hadapan kekuatan alam yang tak terkendali.
Foto: DOK. Univ. Rhode Island


Posting Komentar untuk "Pompeii dari Timur: Menyibak Tabir Kerajaan Tambora yang Terhapus Peta"